KUALITAS UDARA PERKOTAAN KITA CUKUP MENGKHAWATIRKAN

Jumat, 20 Mei 2011

         Barusan, lagi cari-cari artikel buat bahan pelajaran Biologi, malahan nemuin nih artikel, saya jadi ingat waktu nyimpan artikel ini, waktu itu Juli 2007, karena menurut saya bagus akhirnya saya simpan di Laptop ini..ternyata dari hal kecil yang saya buat dulu dapat bermanfaat di waktu sekarang...ya sudah langsung saja, monggo di simak:


Disadari atau tidak, selama ini masyarakat selalu menjadi korban paling menderita dalam berbagai masalah yang terkait dengan pembangunan dan modernisasi, khususnya dikawasan perkotaan, termasuk masalah pencemaran udara. Sebagaimana diketahui, masalah pencemaran udara menjadi meningkat secara substansial sejak awal industrialisasi berlangsung. Dampaknya terhadap manusia cukup terasa, terutama dalam kaitannya dengan kesehatan, selain terhadap ekosistem lingkungan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benada fisik lainnnya.
            Di sejumlah negara maju, penelitian mengenai dampak lingkungan akibat pencemaran udara telah banyak dilakukan, sementara di negara-negara berkembang seperti Indonesia, penelitian yang sama masih sangat langka. Padahal menurut data dari BAPEDAL, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, pencemaran udara cukup tinggi, meskipun khusus untuk Jakarta, terjadi penurunan selama sepuluh tahun terakhir semenjak penelitian yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia (URBAIR, 1997). Penrunan ini merupakan hasil dari pelaksanan Program Udara Bersih (PRODASIH) yang terintegrasikan ke dalam program pebaikan sistem manajemen kualitas udara (AQMS) pada tahun 2000. Akan tetapi dibanding tahun-tahun 1980-an, sebagaimana laporan Bank Dunia (Ostro, 1994), paras konsentrasi tahun 2000-an awal ini relatif masih lebih tinggi
Konsentrasi polutan seperti debu atau particulate matter untuk ukuran sebesar 10 mikron (PM10) di Jakarta masih diatas paras konsentrasi dari kota-kota besar lainnya. Paras konsentrasi PM10 rata-rata di kota-kota besar tersebut di atas 70mg/m3 untuk Jakarta dan di atas 60mg/m3 untuk kota-kota lainnya. Ini berarti bahwa paras konsentrasi PM10 telah melampaui batas yang diperkenankan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) sebesar 41mg/m3.
Demikian pula dengan konsentrasi timbal yang kebanyakan disebabkan oleh pemakaian bahan bakar minyak (BBM). Sebagaimana di laporkan dalam penelitian Suharguniyawan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), konsentrasi timbal di udara Jakarta pada tahun 2001, sebelum penetapan penggantian BBM timbal dengan non-timbal pada tanggal 1 Juli, mencapai lebih dari 0.8 mg/m3, sedangkan batas yang diperkenankan oleh WHO adalah 0.5mg/m3. Pada paroh kedua tahun 2001, konsentrasi timbal di udara Jakarta menurun drastis, yaitu mencapai paras 0.45 mg/m3 dibawah ketentuan WHO.
Intensitas pencemaran udara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas wilayah, jumlah penduduk dan sebagainya yang pada gilirannya menyebabkan banyaknya jumlah kendaraan maupun konsentrasi industri sebagai produsen polutan utama, yang jauh lebih tinggi dibanding kota-kota lainnya di Indonesia.
Ini berdampak sangat buruk terhadap kesehatan kita. Hasil penelitian penulis untuk disertasi doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM) menunjukkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002, keadaan mortalitas yang terkait dengan polusi udara di Jakarta diperkirakan mendekati 1400 kasus dari belasan ribu kasus mortalitas yang ada. Sementara kasus-kasus berat seperti rawat inap pesakit saluran pernafasan di rumah sakit yang dihubungkan dengan pencemaran debu saja, rata-rata diatas 3500 kasus, belum lagi berbagai kasus yang lebih ringan seperti kesulitan beraktifitas, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan sebagainya yang jumlahnya cukup besar.
Jakarta bahkan diharapkan mendapat perhatian khusus dibanding kota-kota lain di Jawa. Dari tingginya paras konsentrasi polutan dan jumlah penduduk ibukota, diestimasi bahwa rata-rata kasus mortalitas dan morbiditas akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai enam kali lipat dari rata-rata kasus yang sama di kota-kota lainnya. Ini memberikan gambaran bahwa kualitas udara di ibukota sudah mencapai tahap tidak sehat dan sangat mengkhawatirkan, meskipun intensitasnya sudah menurun dibanding satu dekade sebelumnya.
 Dalam kaitannya dengan biaya, estimasi beban kerugian yang harus ditanggung penduduk DKI Jakarta akibat pencemaran udara yang bersumber pada debu (PM10) pada tahun 2000-an mendekati 2,4 trilliun rupiah per tahun, sedang untuk kota-kota besar lainnya berkisar antara 130 hingga 430 milliar rupiah. Khusus untuk Jakarta, estimasi biaya kesehatan akibat pencemaran timbal di udara mencapai 2 trilliun rupiah.
Berdasarkan penilaian ekonomis, masalah pencemaran di Jakarta menjadi berlipat ganda dibanding apa yang dialami oleh kota-kota lainnya, dan bahkan diperkirakan dalam hitungan sepuluh kali lipat atau bahkan lebih. Untuk itulah pemerintah dan masyarakat, khususnya di kota-kota besar terutama di ibukota DKI Jakarta, hendaknya ambil perhatian secara lebih serius.
Keberhasilan perbaikan program manajemen kualitas udara yang membangun jaringan monitoring kualitas udara di sepuluh kota besar, hendaknya lebih diperluas agar mencapai kota-kota lainnya. Pelaksanaan program ini harus disertai secara terintegrasi dengan berbagai program lain dalam PRODASIH seperti penerapan BBM non-timbal, kampanye anti pencemaran lingkungan, penerapan sanksi-sanksi bagi pelanggar, dan sebagainya.
Apabila beberapa program terpadu dalam menangani perbaikan kualitas udara di kota-kota besar dapat dilakukan, disertai pula dengan penyadaran kepada masyarakat tentang arti pentingnya lingkungan udara yang berkualitas, maka di masa-masa mendatang, masalah pencemaran kualitas udara ini akan dapat ditangani secara lebih baik.


(Bernas Jogja, 3 Juli 2007: Menyoal Kualitas Udara Perkotaan))

0 komentar: